Sunday, March 4, 2012

Masih Sama



Sebulan.

Kamu datang masih dengan 'kamu' yang dulu..



3 Minggu.

Kamu datang masih dengan 'kamu' yang dulu..



2 Minggu.

Kamu datang masih dengan 'kamu' yang dulu..




1 Minggu.

Kamu datang masih dengan 'kamu' yang dulu..



Hari ini kamu kembali, apakah masih saja seperti kamu yang dulu?

Entahlah..





*Salam-Jilbab*






Mencintai Senja

Assalamualaikum...

(Cerpen ini hasil karya saya yang berduet dengan @beeNFI :D )


Pukul 17.10 WITA

Sendirian, aku berjalan di bibir pantai. Melihat ombak-ombak yang berkejaran dengan senyum penuh ragu akan sesuatu hal. Sesuatu yang bermula dari kamu. Dan kamu belum juga datang seperti janjimu beberapa jam lalu. Kemana kamu? Langkahku lelah.

Ini memang bukan kali pertama aku harus menunggumu. Berkali-kali kamu membuat janji, dan berkali-kali juga kamu terlambat. Sengaja atau bagaimana? Menunggumu sebentar saja sudah seperti ratusan tahun rasanya.

Aku menghela napas pelan. Mencoba mencari beribu alasan positif tentang arti ketidak datanganmu. Aku masih ingat pesan terakhir yang kamu tulis: "Nantikan aku sebelum senja". Dan aku masih berdiri disini. Menanti seperti pintamu.

Di berbagai sudut, orang perorang datang membawa kehangatan cinta masing-masing sambil menggenggam tangan yang terkasih. Sedangkan aku hanya bisa menelan ludah. Berharap kamu segera hadir dan tak membuatku ragu tentang senja ini.

Senja. Berulang kali ingin aku tanyakan hal itu padamu. Apakah ada arti khusus senja untukmu? Kenapa pula harus senja yang kamu jadikan sandaran? Namun aku terkadang mengurungkan niat bertanya. Hingga kemudian menyisakan sesal di belakang.

Senja di langit pun mulai beraksi. Dan kamu masih tak disini. Aku gelisah!

*

Pukul 17.15 WITA.

Tiba-tiba saja aku mencium aroma itu. Aromamu. Aroma yang dulu pernah membuatku mabuk. Aroma mematikan yang sering tak bisa membuatku bernapas.

Tergesa, aku mengedarkan pandangan guna mencari sosokmu. Aku tahu kamu sudah datang. Aku tahu kamu ada di dekatku. Aroma ini hanya milikmu. Aroma yang akan selalu aku ingat. Bahkan saat terlelap malam. Dimana kamu? Dimana? Cepatlah muncul!

Sedetik, semenit. Dan aroma itu semakin kuat. Semakin terasa di rongga hidung. Dan tepat dihitungan ke lima, kamu memelukku dari belakang.

“Hai, sayang..” Masih seperti biasa. Sapaan dan desahan suaramu yang selalu membuatku gila.

Aku kemudian balas memeluk kamu erat. Sangat erat seakan sudah tak bertemu ribuan tahun.

“Kamu kemana aja sih?” tanyaku manja.

"Maaf, sayang, tadi ada meeting mendadak," jelasmu. Lalu kamu membimbingku duduk di bibir pantai. Kaki kita merasakan ombak yang menampar-nampar.

"Sayang, coba tebak apa yang aku beli saat menuju kesini?" katamu kemudian dengan nada riang. Aku melirik sebuah tas berwarna hitam yang kamu bawa.

"Apa itu?" tanyaku.

“Ssesuatu spesial untuk orang paling spesial seperti kamu." Jawabmu.

Aku bergelayut manja di bahumu dengan mata berbinar-binar. Berharap isi tas itu adalah sesuatu yang aku ingini dari dulu. Cincin.

“Aku buka ya,” katamu seraya mengambil sesuatu dari dalam tas hitam itu dengan perlahan.

“Slow motion banget ngambilnya,” candaku.

“Sabar dong sayang,” katamu gemas.

Aku memperhatikan gerak tanganmu yang lambat. Hingga kemudian terlihat sebuah kotak kecil berwarna hitam di genggamanmu.

"Apa itu?" ulangku.

"Buka aja,” jawabmu seraya mengulurkan kotak itu kearahku.

Penasaran, aku membuka kotak itu. Hingga kemudian dibuat terheran sendiri melihat isinya yang ternyata sebuah cermin berbentuk oval dengan ukuran sebesar genggaman tangan anak kecil.

"Hah, cermin?" tanyaku bingung. Memberinya tatapan seolah berkata ‘are you seriously kidding me?’. Kenapa cermin? Tadinya aku berharap isi dalam kotak itu adalah cincin berlian. Ya, ku kira kamu akan melamarku.

"Kamu tau Kirei, aku ingin sekali melihatmu berdandan layaknya wanita pada umumnya. Kamu cantik, tapi kenapa tak mau merias diri?" tanyamu retoris.

"Kamu tau, aku nggak pernah suka dandan. Dari awal kita berjumpa udah gini kan kondisiku. Jadi aku kira kamu udah bisa menerima seutuhnya aku."

Kamu pun menarik napas dan berkata pelan, "Apa nanti kalau kita nikah, kamu tetep nggak mau dandan juga?"

Jantungku berdegup kencang. Apa ini hanya prolog sebelum kamu melamarku sayang?

"Simpan cermin ini Sayang…" pintamu.

Aku memandang cermin itu sekali lagi. Sibuk berspekulasi sendiri. Sibuk merunut memori tentang masa-masa awal kita bertemu. Hingga sampai pada sebuah pertanyaan: "apa kamu tak pernah bisa menerima apa adanya aku?"

Kamu tahu cintaku begitu besar. Sehingga tak ada alasan untukmu bertanya soal itu lagi. Tapi sepertinya kamu masih meragu tentang aku yang tak bisa menjadi selayaknya wanita. Aku memang nggak tomboy-tomboy banget. Tapi aku nggak mau jika disuruh berdandan. Aku lebih suka yang natural. Senatural cintaku padamu yang tak pernah meminta lebih dari sekadar balasan iklas dari hati.

"Aku sayang kamu, Rei" ucapmu sambil membelai pelan punggungku. Tatapmu nyalang ke arah senja yang sebentar lagi akan tiada.

"Aku juga Sayang. Lebih dari yang bisa kamu pikir."

Mataku lalu ikut menatap senja. Rona jingga bergelora di penjuru pantai. Dalam diam, kami memuja senja itu.

*

18.30 WITA.

Bulan sudah duduk manis diperaduan ketika aku berpikir untuk mengajakmu makan malam. Cacing-cacing di perut sudah sibuk melagukan musik rock yang sangat mengganggu jika saja tak ada suara debur ombak.

"Seafood yuk,” ajakmu dengan senyum manis yang melelehkan hati, yang menjadi daya tarik mu sejak dulu.

Tanganmu lantas merangkul pundakku, dan kita jalan beriringan mencari tempat makan di sekitar Jimbaran.

Disela-sela itu kami banyak mengobrol tentang apa saja. Lalu terbersit tanya yang dengan segera aku katakan padamu sebelum berujung sesal. "Sayang, kenapa kamu suka senja?"

"Sebenarnya tak ada alasan yang terlalu bagaimana. Aku hanya menyukai suasananya yang magis. Apalagi ketika menikmatinya di bibir pantai. Sangat menakjubkan, Sayang. Aku sadar kalau Tuhan sungguh luar biasa sempurna menciptakan fenomena ini."

Aku tercenung mendengar jawabanmu.

"Lalu bagaimana dengan mahluk Tuhan di depanmu ini?"

"Hei, maksudnya?"

"Kayaknya tadi ada yang bilang soal melamar deh.." sindirku.

Kamu tertawa. Aku sedikit tersinggung dengan sikapmu itu. Apanya yang lucu sih? Aku toh bertanya serius. Ingat, kita pacaran sudah 2 tahun, Sayang. Aku tak peduli soal kesukaanmu pada senja meski menurutku aneh ada pria suka dengan hal yang terlalu cewek dan melankolis seperti itu. Jadi apa kamu nggak bisa sedikit lebih respek membawa hubungan kita ketingkat yang lebih serius? Kurasa permintaanku sangat sederhana.

"Udah dong ketawanya !” tegasku
.
"Maaf sayang, aku cuma kaget dan geli aja mendengar pernyataanmu."

“Aku sedang nggak bercanda, tau!” kataku seraya berjalan mendahuluimu. Kesal denganmu yang mengganggapku hanya bercanda.

"Sayang.." panggilmu seraya mengejarku. Aku cuek. Tak berniat berhenti hingga kemudian ku dengar kamu berteriak nyaring;  "I love you Kirei. Tolong berhenti!"

Aku menghentikan langkah. Membiarkanmu menyusul dan berdiri di sebelahku. Membiarkan aku mencium aroma maskulinmu.

"Makasih sudah berhenti. Aku nggak pernah mengganggap kamu bercanda kalo itu yang membuatmu kesal hingga berjalan meninggalkan aku tadi.”

JLEB! Bagaimana kamu bisa membaca pikiranku?

“Coba kamu agak cerdik sedikit, pasti sudah pingsan dari tadi." Lanjutmu kemudian.

"Maksudnya?" tanyaku, sok cuek.

“Coba kamu ambil kotak cermin tadi.” Menurut, aku lalu mengambil kotak hitam yang tersimpan di saku hoddie yang aku kenakan.

"Trus, kenapa lagi?" tanyaku setelah menunjukkan kotak itu di depan wajahmu.

"Coba kamu buka.”

“Apa sih, kamu suruh aku bercermin lagi?” tanyaku sedikit emosi.

Kamu menggelengkan kepala "Nggak Sayang, coba dibuka lagi deh."

Sekali lagi aku menurut. Membuka kotak itu. Memperhatikan setiap detailnya hingga kemudian terkejut. Di bawah tempat cermin tadi, tertempel sepucuk surat yang dilipat kecil. Langsung saja aku mengambil dan membaca isinya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Kirei sayang,

Sebelumnya aku mau minta maaf jika nanti kamu menungguku sedikit lama di bibir pantai hingga senja hampir lenyap hanya untuk menulis surat ini. Aku memang tidak pandai merangkai kata. Dan kamu tau persis hal itu.

Sebenarnya aku bisa saja ngomong langsung. Tapi pasti kesannya tidak istimewa. Makanya aku sengaja nulis di surat ini agar tak sekedar mengucapkan terima kasih karena kamu sudah menjadi wanita yang menemaniku selama hampir 2 tahun ini. Terima kasih telah melalui ratusan hari bersamaku dalam suka dan duka, dalam tangis dan tawa dengan kesederhanaanmu. Jadi, sekarang nggak ada salahnya kan kalo aku memintamu untuk jadi istriku? Memang klise ya, tapi kamu mau nggak menggenggam masa depan bersamaku sampai kita tua nanti?

Truly Yours,

Fabian

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Dan begitu selesai membaca tulisan cakar ayam d ikertas berwarna peach itu dengan perasaan yang bercampur antara senang dan kaget, seolah belum cukup, tiba-tiba kamu memakaikan sebuah cincin di jari manisku seraya berkata “would you marry me?”

Ya Tuhan, lelaki senja ini melamarku! Dan aku sudah tak bisa bercerita banyak lagi selain kenyataan tentang aku dan kamu.

Aku dan seorang kamu yang mencintai senja.

SELESAI


*Salam-Jilbab*